KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirrabbil
alamin, puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah
ini dengan sebaik mungkin. Dalam makalah ini kami menulis mengenai
pemberontakkan-pemberontakkan yang pernah terjadi di Indonesia. Makalah ini
ditulis untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh guru sejarah kami Bapak Yusuf.
Terimakasih kepada
seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan makalah ini.
Penulis berharap agar pembaca dapat memahami dan mengetahui mengenai apa saja
pemberontakkan yang pernah terjadi di Indonesia, bagaimana peristiwa itu
terjadi, kapan dan dimana.
Mohon maaf bila
terdapat kesalahan penulisan, ataupun kesalahan pembahasan dalam makalah ini.
Semoga makalah ini dapat menjadi bacaan yang bermanfaat untuk para pembaca.
Bogor,
Januari 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar 1
Daftar Isi 2
Bab I Pendahuluan 3
Latar
Belakang 3
Rumusan
Masalah 4
Tujuan 4
Bab II Landasan Teori 5
Bab III Pembahasan 7
DI/TII 7
PKI
Madiun 11
PRRI/PERMESTA 12
G30S PKI 15
Terorisme 17
Bab IV Penutup 20
Daftar Pustaka 21
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Sejak
kemerdekaan Indonesia diproklamirkan oleh Sukarno dan Muhammad Hatta pada 17
Agustus 1945, Indonesia terbebas dari belenggu penjajahan baik oleh Portugis,
Belanda, Jepang, maupun Inggris yang telah menjajah bangsa ini selama 400
tahun. Sejak saat itulah kita memiliki negara yang berdaulat adil dan makmur
bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Negara
baru tersebut akhirnya dipimpin oleh sang proklamator, Sukarno sebagai Presiden
dan Muhammad Hatta sebagai Wakil Presiden. Sukarno memimpin Indonesia hingga
tahun 1967 dan Muhammad Hatta mundur sebagai wapres pada 1 Desember 19562
Selama kepemimpinan Sukarno (Orde lama), Sukarno sering membuat kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan kebutuhan masyarakat saat itu, oleh karena itu banyak terjadi pemberontakan.
Selama kepemimpinan Sukarno (Orde lama), Sukarno sering membuat kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan kebutuhan masyarakat saat itu, oleh karena itu banyak terjadi pemberontakan.
Periode
selanjutnya setelah Sukarno adalah Orde Baru yang dipimpin oleh Suharto. Selama
masa kepemimpinan Suharto, antara tahun 1967-1998, pemberontakan jarang terjadi
karena Suharto dikenal sebagai sosok diktator yang kejam dan memiliki banyak
mata-mata yang tersebar disegala pelosok tanah air. Suharto tak segan-segan
untuk meng'hapus'-begitu istilah yang dipakai Suharto yang maksudnya adalah
membunuh semua orang yang diduga terlibat akan memberontak kekuasaan yang sah.
Periode
berikutnya adalah orde Reformasi. Pada periode ini hingga tahun 2010 talah
terjadi empat kali pergantian presiden. Setelah Suharto digulingkan pada 1998,
ia digantikan oleh BJ.Habibie hingga 1999, kemudian Abdurrahman Wahid, Megawati
Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yodhoyono. Pada periode ini pemberontakan
yang terjadi hanya seputar teroris yang sering melakukan pengeboman di beberapa
wilayah di tanah air.
Sejak
Indonesia merdeka, tercatat lebih dari sepuluh kali aksi pemberontakan besar,
antara lain DI/TII(Daarul Islam/Tentara Islam Indonesia),
PRRI/PERMESTA(Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Pemberontakan
Semesta), Gerakan Angkatan Perang Ratu Adil(APRA), PKI Madiun 1948 dan PKI
G30S, Andi Aziz Affair, Teroris 2000-2009, dan beberapa aksi ingin memisahkan
diri dari NKRI seperti GAM(Gerakan Aceh Merdeka), RMS(Republik Maluku Selatan)
dan OPM(Organisasi Papua Merdeka).
B.
RUMUSAN MASALAH
Dalam penulisan
makalah yang berjudul Pemberontakkan-pemberontakkan yang Pernah Terjadi di
Indonesia, penulis membahas beberapa masalah, yaitu sebagai berikut,
a.
Apa yang dimaksud pemberontakkan?
b.
Pemberontakkan-pemberontakkan apa saja yang pernah terjadi di Indonesia?
c.
Mengapa pemberontakkan-pemberontakkan itu dilakukan?
d.
Bagaimana penyelesaian yang dilakukan oleh para pemberontak?
C. TUJUAN
Tujuan yang ingin
dicapai dalam penulisan makalah ini adalah,
a.
Paham mengenai pengertian pemberontakkan
b.
Mengetahui sejarah pemberontakkan yang pernah terjadi di Indonesia
c.
Mengetahui alasan, sebab / latar belakang terjadinya pemberontakkan
d.
Mengetahui cara menyelesaikan pemberontakkan tersebut
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
PEMBERONTAKKAN
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pemberontakan adalah proses, cara, perbuatan
memberontak; penentangan terhadap kekuasaan yg sah. Pemberontakan, dalam pengertian
umum, adalah penolakan terhadap otoritas. Pemberontakan dapat timbul dalam
berbagai bentuk, mulai dari pembangkangan sipil (civil disobedience)
hingga kekerasan terorganisir yang berupaya meruntuhkan otoritas yang ada.
Istilah ini sering pula digunakan untuk merujuk pada perlawanan bersenjata
terhadap pemerintah yang berkuasa, tapi dapat pula merujuk pada gerakan
perlawanan tanpa kekerasan. Orang-orang yang terlibat dalam suatu pemberontakan
disebut sebagai "pemberontak".
Pemberontakan
atau makar selalu mengganggu stabilitas negara. Oleh karena itu telah
ditetapkan hukuman yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 104-1085
B.
TERORISME
Terorisme
adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror
terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak
tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba
dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.
Istilah
teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku
yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti
peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna
bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak
memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris")
layak mendapatkan pembalasan yang kejam.
Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan "terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism : "Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang". Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama.
Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan "terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism : "Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang". Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama.
Selain
oleh pelaku individual, terorisme bisa dilakukan oleh negara atau dikenal
dengan terorisme negara (state terorism). Misalnya seperti dikemukakan oleh
Noam Chomsky yang menyebut Amerika Serikat ke dalam kategori itu. Persoalan
standar ganda selalu mewarnai berbagai penyebutan yang awalnya bermula dari
Barat. Seperti ketika Amerika Serikat banyak menyebut teroris terhadap berbagai
kelompok di dunia, di sisi lain liputan media menunjukkan fakta bahwa Amerika
Serikat melakukan tindakan terorisme yang mengerikan hingga melanggar konvensi
yang telah disepakati.
BAB III
PEMBAHASAN
Sesuai
definisi pada bab sebelumnya, maka pemberontakan yang terjadi di Indonesia
selama kurun waktu 64 tahun (1945-2009) dapat dirinci sebagai
berikut:
·
DI/TII(Daarul Islam/Tentara Islam Indonesia)
·
Pemberontakan PKI(Partai Komunis Indonesia) Madiun 1948
·
Gerakan APRA(Angkatan Perang Ratu Adil)
·
PRRI/PERMESTA (Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia/perjuangan rakyat Semesta)
·
Pemberontakan Andi Aziz (Andi Aziz Affair)
·
Gerakan Republik Maluku Selatan(RMS)
·
Gerakan 30 September 1965 PKI
·
Terorisme dan peledakan bom disejumlah daerah
Pemberontakan-pemberontakan
diatas terjadi dalam kurun waktu 1945-2009. Dalam penulisan karya ilmiah ini
penulis hanya mengambil beberapa sampel pemberontakan saja dari setiap orde
pemerintahan, antara lain:
Orde
Lama(1945-1965)
- DI/TII(Daarul
Islam/Tentara Islam Indonesia)
- Pemberontakan
PKI(Partai Komunis Indonesia) Madiun 1948
- PRRI/PERMESTA
(Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta)
- Gerakan 30 September
1965 PKI
Orde
Revormasi(1998-sekarang)
-Terorisme dan
peledakan bom disejumlah daerah
A. DI/TII (DAARUL ISLAM/TENTARA ISLAM INDONESIA)
Salah
satu pemberontakan paling besar yang pernah terjadi di tanah air adalah DI/TII (DAARUL ISLAM/TENTARA
ISLAM INDONESIA). Gerakan ini dipelopori dan dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan
Kartosuwiryo. Gerakan ini bertujuan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII).
Pemberontakan
berawal dari Jawa Barat. Kartosuwiryo dalam maklumatnya yang dibacakan beberapa
saat setelah pembacaan Proklamasi Negara Islam Indonesia, menyatakan dengan
tegas menolak konsepsi Pancasila. Pemberontakan kemudian meluas hingga Jawa
Tengah, Aceh, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan. Para pemimpinnya,
selain Kartosuwiryo (Jawa Barat), terdapat pula Amir Fattah (Jawa Tengah), Daud
beureueh (Aceh), Abdul Kahhar Muzakkar (Sulawesi Selatan), dan
Ibnu Hadjar (Kalimantan Selatan).
1. DI/TII JAWA BARAT
Gerakan
DI/TII Jawa Barat bermula ketika ditandatanganinya persetujuan perjanjian
Renville pada 17 Januari 1848. Akibat dari persetujuan itu, wilayah Indonesia
yang diakui Belanda semakin sempit dan pemerintah RI harus mengakui kedaulatan
Belanda atas wilayah-wilayah yang dikuasainya hingga terbentuk Negara Republik
Indonesia Serikat (RIS). Selain wilayah kedaulatan RI berkurang, tentara
gerilyawan RI yang berada diluar garis demarkasi Van Mook harus ditarik mundur.
Sekarmadji
Maridjan Kartosuwiryo dan pasukannya yang terdiri atas Hizbullah dan Sabilillah
menolak persetujuan Renville. Ia menolak untuk memundurkan pasukannya ke Jawa
Tengah dan sejak saat itu ia tidak lagi mengakui keberadaan RI. Ia
memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia(NII).
Gerakan
ini kemudian melakukan kekacauan di Jawa Barat. Pasukan DI/TII secara paksa menarik
sumbangan dari rakyat. Namun karena rakyat saat itu sedang kesulitan ekonomi,
pasukan DI/TII kemudian menjarah rumah-rumah penduduk. Untuk mengatasi serangan
pemerintah RI, DI/TII menggunakan strategi grilya.
Pemerintah
akhirnya melakukan kerja sama dengan penduduk setempat untuk melawan
pemberontakan ini dan menunjuk Ibrahim Adjie sebagai penanggung jawab strategi,
yaitu membantu ABRI dengan cara mengepung pasukan DI/TII dari segala penjuru.
Pada
tanggal 1 April 1962, dilancarkan operasi Bharatayudha untuk menumpas DI/TII
Kartosuwiryo. DI/TII semakin terdesak dan satu-persatu komandannya menyerahkan
diri. Pada tanggal 4 Juni 1962, Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo ditangkap dan
dijatuhi hukuman mati. Ia sempat mengajukan grasi kepada Presiden, namun ditolak.
2. DI/TII JAWA TENGAH
Pemberontakan
DI/TII Jawa Tengah dipimpin oleh Amir Fattah di seputar wilayah Brebes-Tegal.
Ia awalnya adalah orang yang loyal terhadap RI, namun seperti Kartosuwiryo, ia
kemudian berbalik memberontak dan bergabung dengan DI/TII Jawa Barat
Kartosuwiryo pada 23 Agustus 1949. Pasukan Amir Fattah, yang kemudian diubah
namanya menjadi Tentara Islam Indonesia (TII) dengan julukan
Batalyon Syarif Hidayat Widjaja Kusuma.
Selain di wilayah Brebes-Tegal, dibagian selatan Jawa Tengah, Kebumen juga melakukan pemberontakan. Dipimpin oleh Muhammad Mahfudh Abdurrahman atau dikenal dengan nama Kiai Sumolangu, pemberontakan ini juga mengadakan kontak dengan DI/TII Jawa Barat Kartosuwiryo dengan tujuan yang sama pula, mendirikan Negara Islam.
Gerakan ini dilumpuhkan oleh TNI pada tahun 1954 melalui operasi Guntur.
Selain di wilayah Brebes-Tegal, dibagian selatan Jawa Tengah, Kebumen juga melakukan pemberontakan. Dipimpin oleh Muhammad Mahfudh Abdurrahman atau dikenal dengan nama Kiai Sumolangu, pemberontakan ini juga mengadakan kontak dengan DI/TII Jawa Barat Kartosuwiryo dengan tujuan yang sama pula, mendirikan Negara Islam.
Gerakan ini dilumpuhkan oleh TNI pada tahun 1954 melalui operasi Guntur.
3. DI/TII SULAWESI SELATAN
Pemberontakan
DI/TII Sulawesi Selatan dipimpin oleh Abdul Kahhar Muzakkar. Latar belakang
pemberontakan di Sulawesi Selatan berbeda dengan pemberontakan di daerah lain
seperti di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Pada
mulanya, Abdul Kahhar Muzakkar adalah seorang komandan tentara RI Persiapan
Resimen Hasanuddin di Yogyakarta dengan pangkat kolonel. Kemudian ia menggagas
pembentukan Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi(TRIPS). Tentara
Republik Indonesia Persiapan Sulawesi(TRIPS) beserta laskar-laskar dibawah
pimpinan Komando Gerilya Sulawesi Selatan ini yang bergerilya di Sulawesi
Selatan selama perang kemerdekaan berlangsung. Setelah perang kemerdekaan selesai,
pemerintah mengeluarkan kebijakan nasionalisasi laskar-laskar. Dalam
nasionalisasi ini, setiap laskar harus melalui seleksi. Namun tak semua laskar
dibawah pimpinan Komando Gerilya Sulawesi Selatan memenuhi syarat. Sedangkan
Abdul Kahhar menginginkan semua laskar Komando Gerilya Sulawesi Selatan masuk
dalam daftar anggota APRIS. Pemerintah tetap tidak mau mengabulkan permintaan
Abdul Kahhar.
Pada
Agustus 1951, Abdul Kahhar melarikan diri ke hutan dengan membawa perlengkapan
dan persenjataaan yang diperoleh dari pasukannya. Kemudian ia menerima tawaran
Kartosuwiryo untuk memegang pimpinan TII wilayah Sulawesi Selatan. Pada 7
Agustus 1953, Abdul Kahhar resmi bergabung dengan DI/TII Jawa Barat.
Pemerintah
setelah mengetahui Abdul Kahhar bergabung dengan DI/TII segera melancarkan
operasi militer ke Sulawesi Selatan. Operasi ini memakan waktu lebih dari
empatbelas tahun. DI/TII Sulawesi Selatan baru benar-benar tumpas pada tahun 1965.
Pada Februari 1965, Abdul Kahhar Muzakkar tertembak mati dalam kontak senjata dengan pasukan RI.
Pada Februari 1965, Abdul Kahhar Muzakkar tertembak mati dalam kontak senjata dengan pasukan RI.
4. DI/TII ACEH
Pemberontakan
DI/TII Aceh dipimpin oleh Daud Beureueh. Ia adalah seorang ulama terkenal Aceh
saat itu. Setelah proklamasi kemerdekaan, terjadi perbedaan pendapat antara
kaum alim ulama Aceh dengan para bangsawan (uleebalaang).
Akhirnya
pemerintah pusat turun tangan untuk menyelesaikan pertentangan tersebut supaya
tidak terjadi perang saudara. Pemerintah kemudian membentuk Aceh sebagai daerah
istimewa setingkat provinsi. Lalu diangkatlah Daud Beureueh sebagai Gubernur Aceh.
Namun dalam rangka menyederhanakan administrasi negara, Sukarno pada tahun 1950 menurunkan status Aceh sebagai wilayah karisidenan dalam Provinsi Sumatera Utara. Rakyat Aceh kecewa dengan keputusan ini karena selama perang kemerdekaan tidak sedikit bantuan yang diberikan rakyat Aceh untuk negara.
Namun dalam rangka menyederhanakan administrasi negara, Sukarno pada tahun 1950 menurunkan status Aceh sebagai wilayah karisidenan dalam Provinsi Sumatera Utara. Rakyat Aceh kecewa dengan keputusan ini karena selama perang kemerdekaan tidak sedikit bantuan yang diberikan rakyat Aceh untuk negara.
Maka
pada tanggal 21 September 1953, Daud Beureueh mengeluarkan maklumat yang
menyatakan bahwa Aceh menjadi bagian Negara Islam Indonesia yang diproklamirkan
Kartosuwiryo dan memutuskan hubungan dengan Jakarta.
Selama
pergerakannya, Daud Beureueh melakukan propaganda-propaganda yang isinya
menjelek-jelekkan pemerintah Jakarta kepada rakyat Aceh. Oleh karena itu,
seperti di daerah-daerah lain yang melakukan pemberontakan, pemerintah pusat
melancarkan operasi untuk menumpas DI/TII Aceh.
Atas
inisiatif Pangdam I bukit Barisan, kolonel Jasin, diadakanlah musyawarah dengan
rakyat Aceh untuk menyelesaikan permasalahan ini. Dalam musyawarah itu,
dibicarakanlah permasalahan dan kesalahpahaman yang terjadi. Akhirnya tercapai
kesepakatan dan pemberontakan dapat diselesaikan secara damai.
5. DI/TII KALIMANTAN SELATAN
Pemberontakan
DI/TII Kalimantan Selatan disebabkan ketidakpuasan rakyat yang tergabung dalam
Kesatuan Rakjat Jang Tertindas (KRJT) Kalimantan Selatan. KRJT
yang dipimpin oleh Ibnu Hajjar pada tahun 1950 sering melakukan penyerangan ke
pos-pos TNI di Kalimantan Selatan. Pada awalnya pemerintah masih memberi
kesempatan kepada Ibnu Hajjar untuk menyerahkan diri secara baik-baik. Akhirnya
Ibnu Hajjar menyerah.
Namun setelah merasa kuat dan banyak memiliki pengikut, Ibnu Hajjar kembali membuat kekacauan. Ia bergabung dengan Kartosuwiryo dan DI/TII. Iapun diangkat sebagai Panglima TII wilayah Kalimantan pada tahun1954.
Namun setelah merasa kuat dan banyak memiliki pengikut, Ibnu Hajjar kembali membuat kekacauan. Ia bergabung dengan Kartosuwiryo dan DI/TII. Iapun diangkat sebagai Panglima TII wilayah Kalimantan pada tahun1954.
Akhirnya
TNI melakukan operasi penumpasan pemberontakan DI/TII Kalimantan Selatan. Pada
tahun 1959 Ibnu Hajjar berhasil ditangkap dan dijatuhi hukuman mati pada 22
Maret 1965.
B. PEMBERONTAKAN PKI MADIUN 1948
Pada
awal Januari 1948 Kabinet Amir Syarifudin dibubarkan. Presiden Sukarno
menunjuk Muhammad Hatta untuk mengatur susunan kabinet baru. Namun Muhammad
Hatta menyusun kabinet tanpa memasukkan seorangpun menteri dari golongan kiri (sosialis-komunis).
Pada
bulan Agustus 1948 Musso, salah seorang tokoh pendiri PKI kembali dari Moskow.
Ia bermukim di Moskow sejak tahun1926. Kembalinya Musso ke Indonesia membuat
kebijakan baru bagi PKI. Kebijakan ini sering disebut jalan baru Musso.
Kebijakan Musso selanjutnya adalah menentang susunan kabinet Muhammad Hatta
yang menurutnya telah menjual negara kepada imperialis Belanda.
Pertentangan
politik ini berubah menjadi insiden bersenjata. Front Demokrasi Rakyat (FDR) bentukan PKI
semakin meningkatkan kegiatan pengacauan. Di Solo misalnya, terjadi
pemberontakan antara FDR/PKI dengan lawan-lawan politiknya dan bahkan dengan
TNI.
Puncaknya
adalah ketika PKI mengambil alih kekuasaan di Madiun. FDR/PKI lalu
memproklamasikan berdirinya Negara Sovyet Indonesia pada 18 September 1948.
Selain di Madiun, PKI juga berhasil menguasai Pati, Jawa Tengah. Di Pati PKI juga membentuk pemerintahan baru. Sementara itu Musso menyerang pemerintah dan mengatakan bahwa Sukarno-Hatta telah menjalankan politik kapitulasi kepada Inggris dan Belanda dan memprovokasikan bahwa negara tengah dijual kepada kapitalis.
Selain di Madiun, PKI juga berhasil menguasai Pati, Jawa Tengah. Di Pati PKI juga membentuk pemerintahan baru. Sementara itu Musso menyerang pemerintah dan mengatakan bahwa Sukarno-Hatta telah menjalankan politik kapitulasi kepada Inggris dan Belanda dan memprovokasikan bahwa negara tengah dijual kepada kapitalis.
Pemerintah
segera mengambil tindakan untuk menumpas pemberontakan PKI dengan melancarkan
Operasi Militer I yang dipimpin oleh Kolonel Abdul Haris Nasution. Pada tanggal
30 September 1948 Madiun berhasil direbut kembali oleh TNI. Dalam operasi itu,
Musso berhasil ditembak mati, sementara Amir Syarifuddin dan tokoh-tokoh
lainnya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.
C. PRRI/PERMESTA (Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia/perjuangan rakyat Semesta)
Kondisi
negara antara tahun 1950-1956 yang diharapkan sebagai awal pembangunan di
segala bidang ternyata tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Kehidupan politik
dan demokrasi tidak efektif, kabinet tidak bertahan lama karena sering jatuh
sebelum menjalankan program-programnya. Selain itu orang-orang yang mendapat
jabatan ternyata tidak sesuai dengan bidang keahliannya.
Akhirnya,
pada akhir 1956, dengan disponsori para perwira militer daerah, dibentuklah
Dewan Banteng (Sumatera Barat), Dewan Gajah (Sumatera Utara), dan
dewan Garuda (Sumatera Selatan), semacam pemerintah darurat di daerah
masing-masing.
Keadaan
yang jauh dari memuaskan itu menjadi pemikiran sekelompok anggota TNI. Pada
saat reuni Dewan Banteng di Sumatera Barat, peserta sepakat bahwa untuk
melaksanakan pembangunan, potensi daerah harus digali sebanyak-banyaknya. Hasil
reuni dilaporkan ke Jakarta oleh delegasi Dewan Banteng yang terdiri dari
Dahlan Djambek, A. Halim, Sodi Baharudin, dan Ali Lubis.
Sebagai
kelanjutan dari keputusan reuni tersebut, Letkol Ahmad Husain, selaku ketua
Dewan Banteng mengambil keputusan untuk mengambil alih pemerintah daerah
Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan Muljohardjo pada 20 Desember 1956 karena
Gubernur yang ditunjuk oleh Presiden Sukarno dipandang kurang berhasil dalam
membangun Sumatera Tengah. Selain di Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera
Utara pun melakukan hal yang sama.
Pada
tanggal 9 Januari 1958 suatu pertemuan diselenggarakan di Sungai Dareh,
Sumatera Barat, yang dihadiri oleh Letnan Kolonel Achmad Husein, Letnan Kolonel
Ventje Sumual, Kolonel Simbolon, Kolonel Dachlan Djambek, dan Kolonel Zulkifli
Lubis. Sedangkan dari pihak sipil hadir antara lain M. Natsir, Sjarif Usman,
Burhanuddin Harahap, dan Sjafruddin Prawiranegara. Dalam pertemuan tersebut
membicarakan tentang pembentukan pemerintahan baru dan hal-hal yang berhubungan
dengan itu.
Hari
berikutnya, pada tanggal 10 Januari 1958, Kolonel Achmad Husein berpidato
didepan peserta rapat raksasa di Padang. Dalam pidatonya, Kolonel Achmad Husein
memberikan ultimatum tegas kepada pemerintah pusat RI.
Puncak
pemberontakan terjadi ketika pada tanggal 15 Pebruari 1958 Achmad Husain
memaklumkan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan mengusung
Sjarifuddin Prawiranegara sebagai Perdana Menterinya. Proklamasi PRRI mendapat
tanggapan dari wilayah Indonesia bagian timur. Pada tanggal 17 Pebruari 1958
Letnan Kolonel D.J Somba, Komandan Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah
menyatakan bergabung dengan PRRI dan putus hubungan dengan RI. Pemerintah
segera bertindak menyelesaikan kasus ini dengan kekuatan senjata.
Maka,
lima hari kemudian pesawat-pesawat AURI mengebom Padang, pusat pemberontakan.
Lalu pertempuranpun pecah di berbagai daerah di Sumatera Barat, Riau, Jambi,
Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara.
OPERASI PENUMPASAN PRRI
Untuk
menumpas pemberontakan PRRI di Sumatra segera disiapkan operasi gabungan yang
terdiri dari unsur-unsur darat, laut, dan udara.
Pertama-tama,
untuk menguasai daerah Riau, dilancarkan Operasi Tegas di bawah pimpinan Letnan
Kolonel Kaharuddin Nasution. Pertimbangannya adalah untuk mengamankan
instalasi-instalasi minyak asing di daerah tersebut dan untuk mencegah campur
tangan asing dengan dalih menyelamatkan negara dan miliknya. Kota Pekanbaru
berhasil dikuasai pada tanggal 12 Maret 1958.
Untuk
mengamankan daerah Sumatra Barat, dilancarkan operasi 17 Agustus di bawah
pimpinan Kolonel Ahmad Yani. Pada tanggal 17 April, Padang dapat dikuasai oleh
pasukan Angkatan Perang dan pada tanggal 4 Mei menyusul kota Bukittinggi.
Sementara itu, di daerah Sumatra Utara dilancarkan operasi Saptamarga di bawah pimpinan Brigadir Jendral Djatikusumo. Untuk daerah Sumatera Selatan, dilancarkan Operasi Sadar dibawah pimpinan Letnan Kolonel Dr. Ibnu Sutomo.
Sementara itu, di daerah Sumatra Utara dilancarkan operasi Saptamarga di bawah pimpinan Brigadir Jendral Djatikusumo. Untuk daerah Sumatera Selatan, dilancarkan Operasi Sadar dibawah pimpinan Letnan Kolonel Dr. Ibnu Sutomo.
Pimpinan
PRRI akhirnya menyerah satu per satu. Pada tanggal 29 Mei 1961 secara resmi Achmad
Husein melaporkan diri dengan pasukannya, disusul oleh tokoh PRRI yang lain,
baik militer maupun sipil.
Dalam
usaha penumpasan pemberontakan ini, patut dicatat mereka yang berada di
daerah-daerah pemberontakan, tetapi tetap setia pada pemerintah, kepada
Saptamarga, dan Sumpah Prajurit, antara lain Komisaris Polisi Kaharuddin Dt.
Rangkajo Basa dan Mayor Nurmathias di Sumatra barat, Letnan Kolonel Djamin
Ginting, dan Letnan Kolonel Wahab Makmur di Sumatera Utara, serta Letnan
Kolonel Harun Sohar di Sumatera Selatan.
OPERASI PENUMPASAN
PERMESTA
Untuk
memberantas pemberontakan Permesta di Indonesia bagian timur, dilancarkan
sebuah operasi gabungan dengan nama Operasi Merdeka di bawah pimpinan Letnan
Kolonel Rukmito Hendraningrat. Operasi ini terdiri dari beberapa bagian, yakni:
1. Operasi Saptamarga I di
bawah pimpinan Letnan Kolonel Soemarsono dengan daerah sasaran Sulawesi Utara
bagian tengah;
2. Operasi Saptamarga II
di bawah pimpina Letnan Kolonel Agus Prasmono dengan sasaran Sulawesi utara
bagian selatan;
3. Operasi Saptamarga III
di bawah pimpinan Letnan Kolonel Magenda dengan daerah sasaran kepulauan
sebelah utara Manado;
4. Operasi Saptamarga IV
di bawah pimpinan langsung Letnan Kolonel Rukmito Hendraningrat dengan daerah
sasaran Sulawesi Utara;
5. Operasi Mena I di bawah
pimpinan Letnan Kolonel KKO Hunholz untuk merebut lapangan udara Morotai di
sebelah utara Halmahera.
Sebelum
Operasi pokok itu dilancarkan, di Sulawesi tengah telah bergerak
kesatuan-kesatuan yang tergabung dalam operasi Insyaf yang Dikoordinasi oleh
Komando Antar daerah Indonesia bagian timur (Koandait). Termasuk terdalam
Operasi ini gerakan-gerakan yang dilakukan oleh kesatuan-kesatuan yang setia
kepada pemerintah yang dipimpin oleh Kapten Frans Karangan dan kesatuan Polisi
di bawah pimpinan Inspektur Polisi Suaeb. Operasi ini berhasil menguasai
kota-kota Donggala dan Parigi, sedagkan kesatuan-kesatuan yang dipimpin oleh
Nani Wartabone (Pasuka Rimba) berhasil menyiapkan pancangan kaki bagi
pendaratan pasukan-pasukan Operasi Spaptamarga II di Gorontalo.
Operasi-operasi
militer APRI di Indonesia bagian timur menghadapi perlawanan yang lebih berat
dibandingkan dengan Operasi di Sumatera karena situasi daerah yang
menguntungkan pemberontak dan persenjataan mereka yang cukup kuat. Namun,
akhirnya Pemerintah berhasil menguasai daerah-daerah tersebut. Pada pertegahan
tahun 1961 sisa-sisa Permesta menyerahkan diri, memenuhi seruan Pemerintah dan
keamanan dapat dipulihkan sepenuhnya.
D. GERAKAN 30 SEPTEMBER/G30S/GESTAPU/GESTOK
Gerakan
30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI, Gestapu (Gerakan
September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa
yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 hingga 1 Oktober 1965 dini hari di
mana enam pejabat tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya
dibunuh dalam suatu usaha pemberontakan yang disebut pemerintah Orde Baru
sebagai usaha Kudeta Partai Komunis Indonesia.
Karena
pemberontakan ini masih kontroversial, terutama seputar siapa dalang dibalik
pemberontakan ini, maka penulis hanya akan menjelaskan seputar kronologis dan
korban-korban gerakan ini.
Pada tahun 1965
tepatnya pada tanggal 30 September 1965, sebuah pemberontakan terjadi atas
keutuhan Pancasila (itu kata rezim Orde Baru) namun berhasil ditumpas sampai ke
akar-akarnya oleh seorang perwira tinggi bernama Soeharto. “Resolusi Dewan Jendral” yang sempat
beberapa kali disebutkan dalam film tersebut, hal itu benar adanya. Resolusi
Dewan Jendral memang ada. Beberapa orang Jendral pada saat itu sedang
merencanakan untuk menggulingkan kekuasaan Soekarno dan mengambil alih
kekuasaan.
Para pemimpin PKI kala
itu cukup resah dengan adanya isu tentang resolusi Dewan Jendral. Mereka
khawatir jika para jendral berhasil, maka posisi mereka berada di ujung tanduk.
Untuk itu mereka harus bergerak cepat, berpacu dengan waktu untuk menumpas para
jendral yang terlibat dalam Resolusi Dewan Jendral, sebelum para jedral
mendahuluinya.
Rakyat yang kala itu
masih bodoh dicekoki dengan pernyataan-pernyataan pedas tentang seberapa
menyeramkan dan menyakitkannya sebuah pemberontakan. PKI terus menyebarkan
doktrin bahwa pemberontakan itu identik dengan kekejaman. Rakyat akan semakin
terkepung dalam kesengsaraan. Doktrin yang dilontarkan PKI itu terhadap rakyat
itu pada akhirnya berhasil membakar darah rakyat yang kala itu tengah dirundung
duka yang mendalam dan berkepanjangan akibat dari ketidak stabilan perekonomian
di sebuah negara yang masih muda ini. Akhirnya PKI mendapat restu dari rakyat
yang telah didoktrinnya untuk menumpas para jendral yang terlibat dalam
Resolusi Dewan Jendral.
PKI sendiri mempunyai
kepentingan dalam penumpasan ini. PKI adalah pendukung terkuat Soekarno, dan
Soekarno adalah pendukung terkuat PKI demi sebuah image bagi dunia
internasional bahwa Indonesia tidak mudah dimasuki pengaruh Amerika Serikat.
Memang Sokarno lebih menyukai politik sosialis demokratik seperti yang
diajarkan Uni Soviet kepada dunia kala itu yaitu pemerataan.
Karena PKI takut
kehilangan dukungan dari presiden, maka PKI harus secepatnya menumpas Dewan
Jendral sebelum Dewan Jendral menggulingkan Soekarno. Maka direncanakanlah
sebuah aksi untuk menumpas Dewan Jendral. Akhirnya para pemimpin PKI sepakat
tanggal yang tepat untuk melakukan aksi adalah pada tanggal 30 September.
Tanggal
30 September pukul 4 pagi, diculiklah 7 jendral yang menjadi target operasi
PKI. Mereka dibawa ke lubang buaya dan diserahkan kepada masa pendukung PKI
yang telah berkumpul di sana sejak sore hari tanggal 29 September untuk diadili
dengan cara mereka. Massa dibebaskan melakukan apa saja sesuka hati mereka
kepada para jendral yang akan menambah kesengsaraan bagi rakyat tersebut. Massa
yang berkumpul di lubang buaya berpesta pora sebelum akhirnya menyiksa hingga
mati para jendral tersebut.
Dini
hari tanggal 1 Oktober 1965 Gerakan Tiga Puluh September (G30S) PKI menculik
dan membunuh 6 orang perwira tinggi Angkatan Darat yang yang dinilai sebagai
penghalang utama rencana mereka untuk merebut kekuasaan Negara. Pagi itu pula
mereka berhasil menguasai Gedung RRI dan Gedung Pusata Telekomunikasi. Di bawah
todongan pistol, seorang penyiar RRI dipaksa menyiarkan pengumuman yang
menyatakan bahwa G-30-S telah menyelamatkan Negara dari usaha kudeta “Dewan
Jendral”. Tengah hari mereka mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara
dan pendemisioneran cabinet. Untuk menghentikan pengumuman-pengumuman yang
menyesatkan rakyat itu, Panglima Komando Tindakan Strategi Angkatan Darat
(Kostrad) Mayjen Soeharto yang telah mengambil alih sementara pimpinan Angkatan
Darat memerintahkan pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) untuk
membebaskan Gedung RRI Pusata dan Gedung Telekomunikasi dari penguasaan G-30-S
PKI. Operasi yang dimulai pukul 18.30, dengan mengerahkan kekuatan satu kompi
dalam waktu hanya 20 menit, RPKAD berhasil menguasai kembali gedung vital itu.
Pukul 20.00 tanggal 1 Oktober 1965 RRI Pusat sudah dapat menyiarkan pidato
radio Mayjen Soeharto yang menjelaskan adanya usaha kudeta yang dilakukan oleh
PKI melalui G-30-S.
E. TERORISME DI INDONESIA
Terorisme
di Indonesia dilakukan oleh grup teror Jemaah Islamiyah yang berhubungan dengan
Al Qaeda. Sejak tahun 2002, beberapa "target negara Barat" telah
diserang. Korban yang jatuh adalah turis Barat dan juga penduduk Indonesia.
Terorisme di Indonesia dimulai tahun 2000 dengan terjadinya Bom Bursa Efek
Jakarta diikuti dengan empat serangan besar lainnya, dan yang paling mematikan
adalah Bom Bali 2002
Jemaah
Islamiyah atau Jamaah Islamiah adalah sebuah organisasi militan Islam di Asia
Tenggara yang berupaya mendirikan sebuah negara Islam raksasa di wilayah
negara-negara Indonesia, Singapura, Malaysia, dan negara lain di Asia Tenggara.
Pemerintah Amerika Serikat menganggap organisasi ini sebagai organisasi
teroris, sementara di Indonesia organisasi ini telah dinyatakan sebagai
"korporasi terlarang"
Berikut
adalah beberapa kejadian terorisme yang telah terjadi di Indonesia dan instansi
Indonesia di luar negeri:
·
Bom Kedubes Filipina, 1 Agustus 2000. Bom meledak dari sebuah
mobil yang diparkir di depan rumah Duta Besar Filipina, Menteng, Jakarta Pusat.
2 orang tewas dan 21 orang lainnya luka-luka, termasuk Duta Besar Filipina
Leonides T Caday.
·
Bom Kedubes Malaysia, 27 Agustus 2000. Granat meledak di
kompleks Kedutaan Besar Malaysia di Kuningan, Jakarta. Tidak ada korban jiwa.
·
Bom Bursa Efek Jakarta, 13 September 2000. Ledakan
mengguncang lantai parkir P2 Gedung Bursa Efek Jakarta. 10 orang tewas, 90
orang lainnya luka-luka. 104 mobil rusak berat, 57 rusak ringan.
·
Bom malam Natal, 24 Desember 2000. Serangkaian ledakan bom
pada malam Natal di beberapa kota di Indonesia, merenggut nyawa 16 jiwa dan
melukai 96 lainnya serta mengakibatkan 37 mobil rusak.
·
Bom Gereja Santa Anna dan HKBP, 22 Juli 2001. 5 orang tewas.
·
Bom Plaza Atrium Senen Jakarta, 23 September 2001. Bom
meledak di kawasan Plaza Atrium, Senen, Jakarta. 6 orang cedera.
·
Bom restoran KFC, Makassar, 12 Oktober 2001. Ledakan bom
mengakibatkan kaca, langit-langit, dan neon sign KFC pecah. Tidak ada korban
jiwa. Sebuah bom lainnya yang dipasang di kantor MLC Life cabang Makassar tidak
meledak.
·
Bom sekolah Australia, Jakarta, 6 November 2001. Bom rakitan
meledak di halaman Australian International School (AIS), Pejaten, Jakarta.
·
Bom Tahun Baru, 1 Januari 2002. Granat manggis meledak di
depan rumah makan ayam Bulungan, Jakarta. Satu orang tewas dan seorang lainnya
luka-luka. Di Palu, Sulawesi Tengah, terjadi empat ledakan bom di berbagai
gereja. Tidak ada korban jiwa.
·
Bom Bali, 12 Oktober 2002. Tiga ledakan mengguncang Bali. 202
korban yang mayoritas warga negara Australia tewas dan 300 orang lainnya
luka-luka. Saat bersamaan, di Manado, Sulawesi Utara, bom rakitan juga meledak
di kantor Konjen Filipina, tidak ada korban jiwa.
·
Bom restoran McDonald’s, Makassar, 5 Desember 2002. Bom
rakitan yang dibungkus wadah pelat baja meledak di restoran McDonald’s
Makassar. 3 orang tewas dan 11 luka-luka.
·
Bom Kompleks Mabes Polri, Jakarta, 3 Februari 2003, Bom
rakitan meledak di lobi Wisma Bhayangkari, Mabes Polri Jakarta. Tidak ada
korban jiwa.
·
Bom Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, 27 April 2003. Bom
meledak dii area publik di terminal 2F, bandar udara internasional
Soekarno-Hatta, Cengkareng, Jakarta. 2 orang luka berat dan 8 lainnya luka
sedang dan ringan.
·
Bom JW Marriott, 5 Agustus 2003. Bom menghancurkan sebagian
Hotel JW Marriott. Sebanyak 11 orang meninggal, dan 152 orang lainnya mengalami
luka-luka.
·
Bom Palopo, 10 Januari 2004. Menewaskan empat orang. (BBC)
·
Bom Kedubes Australia, 9 September 2004. Ledakan besar
terjadi di depan Kedutaan Besar Australia. 5 orang tewas dan ratusan lainnya
luka-luka. Ledakan juga mengakibatkan kerusakan beberapa gedung di sekitarnya
seperti Menara Plaza 89, Menara Grasia, dan Gedung BNI. (Lihat pula: Bom
Kedubes Indonesia, Paris 2004)
· Ledakan bom di Gereja
Immanuel, Palu, Sulawesi Tengah pada 12 Desember 2004.
·
Dua Bom meledak di Ambon pada 21 Maret 2005
·
Bom Tentena, 28 Mei 2005. 22 orang tewas.
·
Bom Pamulang, Tangerang, 8 Juni 2005. Bom meledak di halaman
rumah Ahli Dewan Pemutus Kebijakan Majelis Mujahidin Indonesia Abu Jibril alias
M Iqbal di Pamulang Barat. Tidak ada korban jiwa.
·
Bom Bali, 1 Oktober 2005. Bom kembali meledak di Bali.
Sekurang-kurangnya 22 orang tewas dan 102 lainnya luka-luka akibat ledakan yang
terjadi di R.AJA’s Bar dan Restaurant, Kuta Square, daerah Pantai Kuta dan di
Nyoman Café Jimbaran.
·
Bom Pasar Palu, 31 Desember 2005. Bom meledak di sebuah pasar
di Palu, Sulawesi Tengah yang menewaskan 8 orang dan melukai sedikitnya 45
orang.
·
Bom Jakarta, 17 Juli 2009. Dua ledakan dahsyat terjadi di
Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, Jakarta. Ledakan terjadi hampir bersamaan,
sekitar pukul 7.00 WIB.
·
Bom Buku, Maret 2011. Polri tetapkan 19 tersangka.
·
Bom Cirebon, 15 April 2011. Terjadi di masjid Mapolresta Cirebon saat
sholat Jumat.
·
Bom Solo, 25 September 2011. Di Gereja Bethel Injil Sepenuh
(GBSI), Kepunten Solo.
BAB IV
PENUTUP
Banyak sekali kasus pemberontakkan yang telah terjadi di
Indonesia, dari setelah kemerdekaan Indonesia, bahkan sebelumnya, sampai saat
ini. Hanya satu hal yang harus kita wapadai terutama modus pemberontakkan model
sekarang, yaitu terorisme.
Sejak Indonesia merdeka, tercatat lebih dari sepuluh kali
aksi pemberontakan besar, antara lain DI/TII(Daarul Islam/Tentara Islam
Indonesia), PRRI/PERMESTA(Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia/Pemberontakan Semesta), Gerakan Angkatan Perang Ratu Adil(APRA), PKI
Madiun 1948 dan PKI G30S, Andi Aziz Affair, Teroris 2000-2009, dan beberapa
aksi ingin memisahkan diri dari NKRI seperti GAM(Gerakan Aceh Merdeka),
RMS(Republik Maluku Selatan) dan OPM(Organisasi Papua Merdeka).
DAFTAR PUSTAKA
Ginanjar Kartasasmita
dkk.1983. 30 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta:Penerbit
Wedatama Widya Sastra. Jilid I
Ginanjar Kartasasmita
dkk.1983. 30 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta:Penerbit
Wedatama Widya Sastra. Jilid II
Wikipedia.com
http://satyasembiring.wordpress.com
Indonesiabuku.com
http://arispermana.wordpress.com